Kerajaan Singasari
a. Suksesi Pemerintahan
Kerajaan Singasari, sebagai kelanjutan dari Kerajaan Kediri, merupakaan kerajaan yang penuh dengan perebutan kekuasaan diantara keluarga raja, dengan cara tipu muslihat, balas dendam, pembunuhan, dan pemberontakan . Raja pertama yang berkuasa adalah Ken Arok. Berdasarkan kisah yang termuat dalam kitab Pararaton, tampilnya raja ini ke tampuk kekuasaan singasari dimulai dengan belajar dari para pendeta Kediri yang tidak setia kepada Raja Kediri, Kertajaya. Karir politiknya dimulai dengan pembunuhan terhadap majikannya, yaitu bupati Tumapel bernama Tunggul ametung, sekaligus memperistri janda tungul ametung, Ken Dedes. Sikapnya yang keras terhadap Raja Kertajaya menyebabkan terjadinya peperangan dengan Kerajaan Kediri pada 1222. Dalam pertempuran di Ganter, Ken Arok berhasil merebut kekuasaan, sekaligus menobatkan diri sebagai raja pertama Kerajaan Singasari, dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Kekuasaan Raja Ken Arok tidak berlangsung lama, dan berakhir pada 1227, karena dia terbunuh oleh Anusapati, anak dari Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Pembunuhan ini dilakukan oleh seorang pembantu setia Anusapati. Pada usia 7 tahun, anusapati tampil sebagai Raja Singasari sampai tahun 1248. Kematian Ken Arok oleh anak tirinya ini menimbulkan dendam bagi anak ken arok hasil perkawinannya dengan Ken Umang, bernama Panji Tohjaya. Dengan tipu muslihat, Tohjaya membunuh anusapati pada 1248, dan kemudian menjadi raja dari Kerajaan Singasari.
Berdasarkan cerita yang termuat dalam kakawin Negarakertagama, Tohjaya Hanya memerintah Singasari hanya beberapa bulan saja, sebelum dia sibunuh oleh Ranggawuni, anak dari Anusapati. Pembunuhan ini menjadikan Ranggawuni sebagai raja baru Kerajaan Singasari dengan gelar Wisnu Wardhana.
Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Singasari, wisnu wardhana dibantu saudara sepupunya bernama Maseha Cempaka yang diberi kedudukan sebagai ratuangabhaya atau raja yang berkuasa atas daerah tertentu. Menurut kakawin tersebut, kedua orang tersebut, kedua orang terebut memerintah sebagai raja bersma yang melambangkan kekuasaan Dewa Wisnu dan Indra. Untuk menghiindaridari intrik-intrik politik dan pembunuhan terhadap keluarga raja. Wisnu Wardhana mengangkat anaknya, Kertanegara, sebagai raja muda Kerajaan singasari pada 1254
b.Ekspedisi Pamalayu
Tahun 1268, Kertanegara menjadi Raja Kerajaan Singasari. Tampilnya raja baru Singasari membawa perubahan yang berarti dalam tatanan politik Singsari. Dia berusaha memajukan kerajaan Singasari dan memperluas wilayah kekuasaannya. Beberapa kerajaan kecil di jawa dan Bali berhasil ditaklukannya. Ambisinya untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke luar jawa dilakukan dengan politik cakrawala mandala, yaitu politik penaklukan kerajaan-kerajaan di luar jawa seperti Sumatra (Sriwijaya dan Malayu), Pahang di Semenanjung Malaka, Gurun di Kepulauan Indonesia Timur, sera Bakulapura dan Tanjungpura di Kalimantan. Di bidang agama, dia taat menjalankan ajaran Budha Tantrayana.
Menurut kakawin Negarakertagama, Kertanegara adalah raja yag cakap dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, taat pada hukum bersama, taat pada ucapan pentasbihan, dan menguasaii ilmu kebatinan. Namun, menurut Kitab Pararaton, sebaliknya. Dia sering minum-miuman keras dan sering melanggar pancasila atau lima sila larangan dalm ajaran Budha Tantrayana.
Nagarakretagama mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.
Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara mencoba mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut. Namun ada juga pendapat lain mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan di Nusantara dibawah satu komando Singhasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan dari Mongol.
Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah. Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.
Catatan dari Dinasti Ming memang menyebutkan bahwa pada tahun 1377 tentara Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi tidak harus bermakna Sriwijaya. Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi memang identik dengan Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi yang ditulis tahun 1225, istilah San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan kata lain, San-fo-tsi adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau Sumatera, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.
Jadi, sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah inspeksi pada Kerajaan Melayu karena dalam Nagarakretagama telah disebutkan bahwa kerajaan wilayah Melayu merupakan daerah bawahan di antara sekian banyak daerah jajahan Majapahit, dimana penyebutan Malayu tersebut dirujuk kepada beberapa negeri yang ada di pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya
Istilah Pamalayu dapat bermakna “perang melawan Malayu” atau kalau alih dari bahasa Sanskrit berarti "tidak melepaskan Malayu". Hal ini terjadi karena kawasan Melayu yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Sriwijaya sebagaimana tersebut pada Prasasti Kedukan Bukit yang beraksara tahun 682 Dan kemudian munculnya Dharmasraya mengantikan peran Sriwijaya sebagai penguasa pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya, seiring dengan melemahnya pengaruh Sriwijaya setelah serangan pasukan Rajendra Chola dari Koromandel, India sekitar tahun 1025, dimana dari Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa serangan tersebut berhasil menaklukan dan menawan raja dari Sriwijaya.
Kebangkitan kembali Kerajaan Melayu di bawah pimpinan Srimat Trailokyabhusana Mauli Warmadewa sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Grahi tahun 1183.
Setelah kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, maka pada tahun 1286 Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya. Prasasti Padangroco, tempat dipahatkannya Arca Amoghapasa menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari Maharajadhiraja Kertanagara untuk Maharaja Tribhuwanaraja. Sehingga jika ditinjau dari gelar yang dipakai, terlihat kalau Singhasari telah menjadi atasan Dharmasraya.
Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan diiringgi beberapa pejabat penting Singhasari di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira.
Setelah penyerahkan arca tersebut, Raja Melayu kemudian menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak, untuk dinikahkan dengan Kertanagara di Singhasari.
Pararaton menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294.
Menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukan Mongol untuk menyerang kerajaan Singhasari tahun 1292. Namun, Singhasari ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya penguasa Majapahit untuk menghancurkan Jayakatwang.
Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol dari Pulau Jawa. Kepergian pasukan yang dipimpin Ike Mese itu terjadi pada tanggal 23 April 1293. Jadi, pemberitaan Pararaton meleset satu tahun. Dengan demikian, kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar tanggal 3 Mei 1293.
Dan selanjutnya kedua orang putri Melayu tersebut, Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara mengambil Dara Petak sebagai istri, dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang dewa. Dimana dari Dara Petak lahirlah nantinya Jayanagara raja Majapahit penganti Raden Wijaya.
Sedangkan Dara Jingga kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuhanku Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman, yang kemudian hari menjadi raja di Malayapura. Adityawarman sendiri mengaku sebagai putra Adwayawarman. Nama ini mirip dengan salah satu nama pengawal yang mengantar arca Amoghapasa sebelumnya, yaitu Adwayabrahma yang menjabat sebagai Rakryan Mahamantri. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi dalam pemerintahan Singhasari. Mungkin istilah dewa dalam Pararaton merujuk kepada jabatan ini.
Namun ada pendapat lain terutama dari Prof. Uli Kozok yang mengatakan bahwa anak dari Dara Jingga tersebut adalah yang bernama Akarendrawarman.
Menurut sumber dari Batak, pasukan Pamalayu dipimpin oleh Indrawarman, bukan Kebo Anabrang. Tokoh Indrawarman ini tidak pernah kembali ke Jawa, melainkan menetap di Sumatra dan menolak kekuasaan Majapahit sebagai kelanjutan dari Singhasari. Mungkin, Indrawarman bukan komandan Pamalayu, melainkan wakilnya. Jadi, ketika Kebo Anabrang kembali ke Jawa, ia tidak membawa semua pasukan, tetapi meninggalkan sebagian di bawah pimpinan Indrawarman untuk menjaga keamanan Sumatra. Nama Indrawarman inilah yang tercatat dalam ingatan masyarakat Batak.
Dikisahkan bahwa Indrawarman bermarkas di tepi Sungai Asahan. Ia menolak mengakui kedaulatan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara. Namun, ia juga tidak mampu mempertahankan daerah Kuntu–Kampar yang direbut oleh Kesultanan Aru–Barumun pada tahun 1299. Indrawarman takut apabila kerajaan Majapahit datang untuk meminta pertanggungjawabannya. Ia pun meninggalkan daerah Asahan untuk membangun kerajaan bernama Silo di daerah Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit di bawah pimpinan Adityawarman menghancurkan kerajaan ini.
a. Suksesi Pemerintahan
Kerajaan Singasari, sebagai kelanjutan dari Kerajaan Kediri, merupakaan kerajaan yang penuh dengan perebutan kekuasaan diantara keluarga raja, dengan cara tipu muslihat, balas dendam, pembunuhan, dan pemberontakan . Raja pertama yang berkuasa adalah Ken Arok. Berdasarkan kisah yang termuat dalam kitab Pararaton, tampilnya raja ini ke tampuk kekuasaan singasari dimulai dengan belajar dari para pendeta Kediri yang tidak setia kepada Raja Kediri, Kertajaya. Karir politiknya dimulai dengan pembunuhan terhadap majikannya, yaitu bupati Tumapel bernama Tunggul ametung, sekaligus memperistri janda tungul ametung, Ken Dedes. Sikapnya yang keras terhadap Raja Kertajaya menyebabkan terjadinya peperangan dengan Kerajaan Kediri pada 1222. Dalam pertempuran di Ganter, Ken Arok berhasil merebut kekuasaan, sekaligus menobatkan diri sebagai raja pertama Kerajaan Singasari, dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Kekuasaan Raja Ken Arok tidak berlangsung lama, dan berakhir pada 1227, karena dia terbunuh oleh Anusapati, anak dari Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Pembunuhan ini dilakukan oleh seorang pembantu setia Anusapati. Pada usia 7 tahun, anusapati tampil sebagai Raja Singasari sampai tahun 1248. Kematian Ken Arok oleh anak tirinya ini menimbulkan dendam bagi anak ken arok hasil perkawinannya dengan Ken Umang, bernama Panji Tohjaya. Dengan tipu muslihat, Tohjaya membunuh anusapati pada 1248, dan kemudian menjadi raja dari Kerajaan Singasari.
Berdasarkan cerita yang termuat dalam kakawin Negarakertagama, Tohjaya Hanya memerintah Singasari hanya beberapa bulan saja, sebelum dia sibunuh oleh Ranggawuni, anak dari Anusapati. Pembunuhan ini menjadikan Ranggawuni sebagai raja baru Kerajaan Singasari dengan gelar Wisnu Wardhana.
Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Singasari, wisnu wardhana dibantu saudara sepupunya bernama Maseha Cempaka yang diberi kedudukan sebagai ratuangabhaya atau raja yang berkuasa atas daerah tertentu. Menurut kakawin tersebut, kedua orang tersebut, kedua orang terebut memerintah sebagai raja bersma yang melambangkan kekuasaan Dewa Wisnu dan Indra. Untuk menghiindaridari intrik-intrik politik dan pembunuhan terhadap keluarga raja. Wisnu Wardhana mengangkat anaknya, Kertanegara, sebagai raja muda Kerajaan singasari pada 1254
b.Ekspedisi Pamalayu
Tahun 1268, Kertanegara menjadi Raja Kerajaan Singasari. Tampilnya raja baru Singasari membawa perubahan yang berarti dalam tatanan politik Singsari. Dia berusaha memajukan kerajaan Singasari dan memperluas wilayah kekuasaannya. Beberapa kerajaan kecil di jawa dan Bali berhasil ditaklukannya. Ambisinya untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke luar jawa dilakukan dengan politik cakrawala mandala, yaitu politik penaklukan kerajaan-kerajaan di luar jawa seperti Sumatra (Sriwijaya dan Malayu), Pahang di Semenanjung Malaka, Gurun di Kepulauan Indonesia Timur, sera Bakulapura dan Tanjungpura di Kalimantan. Di bidang agama, dia taat menjalankan ajaran Budha Tantrayana.
Menurut kakawin Negarakertagama, Kertanegara adalah raja yag cakap dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, taat pada hukum bersama, taat pada ucapan pentasbihan, dan menguasaii ilmu kebatinan. Namun, menurut Kitab Pararaton, sebaliknya. Dia sering minum-miuman keras dan sering melanggar pancasila atau lima sila larangan dalm ajaran Budha Tantrayana.
Nagarakretagama mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.
Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara mencoba mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut. Namun ada juga pendapat lain mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan di Nusantara dibawah satu komando Singhasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan dari Mongol.
Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah. Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.
Catatan dari Dinasti Ming memang menyebutkan bahwa pada tahun 1377 tentara Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi tidak harus bermakna Sriwijaya. Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi memang identik dengan Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi yang ditulis tahun 1225, istilah San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan kata lain, San-fo-tsi adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau Sumatera, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.
Jadi, sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah inspeksi pada Kerajaan Melayu karena dalam Nagarakretagama telah disebutkan bahwa kerajaan wilayah Melayu merupakan daerah bawahan di antara sekian banyak daerah jajahan Majapahit, dimana penyebutan Malayu tersebut dirujuk kepada beberapa negeri yang ada di pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya
Istilah Pamalayu dapat bermakna “perang melawan Malayu” atau kalau alih dari bahasa Sanskrit berarti "tidak melepaskan Malayu". Hal ini terjadi karena kawasan Melayu yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Sriwijaya sebagaimana tersebut pada Prasasti Kedukan Bukit yang beraksara tahun 682 Dan kemudian munculnya Dharmasraya mengantikan peran Sriwijaya sebagai penguasa pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya, seiring dengan melemahnya pengaruh Sriwijaya setelah serangan pasukan Rajendra Chola dari Koromandel, India sekitar tahun 1025, dimana dari Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa serangan tersebut berhasil menaklukan dan menawan raja dari Sriwijaya.
Kebangkitan kembali Kerajaan Melayu di bawah pimpinan Srimat Trailokyabhusana Mauli Warmadewa sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Grahi tahun 1183.
Setelah kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, maka pada tahun 1286 Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya. Prasasti Padangroco, tempat dipahatkannya Arca Amoghapasa menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari Maharajadhiraja Kertanagara untuk Maharaja Tribhuwanaraja. Sehingga jika ditinjau dari gelar yang dipakai, terlihat kalau Singhasari telah menjadi atasan Dharmasraya.
Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan diiringgi beberapa pejabat penting Singhasari di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira.
Setelah penyerahkan arca tersebut, Raja Melayu kemudian menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak, untuk dinikahkan dengan Kertanagara di Singhasari.
Pararaton menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294.
Menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukan Mongol untuk menyerang kerajaan Singhasari tahun 1292. Namun, Singhasari ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya penguasa Majapahit untuk menghancurkan Jayakatwang.
Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol dari Pulau Jawa. Kepergian pasukan yang dipimpin Ike Mese itu terjadi pada tanggal 23 April 1293. Jadi, pemberitaan Pararaton meleset satu tahun. Dengan demikian, kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar tanggal 3 Mei 1293.
Dan selanjutnya kedua orang putri Melayu tersebut, Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara mengambil Dara Petak sebagai istri, dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang dewa. Dimana dari Dara Petak lahirlah nantinya Jayanagara raja Majapahit penganti Raden Wijaya.
Sedangkan Dara Jingga kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuhanku Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman, yang kemudian hari menjadi raja di Malayapura. Adityawarman sendiri mengaku sebagai putra Adwayawarman. Nama ini mirip dengan salah satu nama pengawal yang mengantar arca Amoghapasa sebelumnya, yaitu Adwayabrahma yang menjabat sebagai Rakryan Mahamantri. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi dalam pemerintahan Singhasari. Mungkin istilah dewa dalam Pararaton merujuk kepada jabatan ini.
Namun ada pendapat lain terutama dari Prof. Uli Kozok yang mengatakan bahwa anak dari Dara Jingga tersebut adalah yang bernama Akarendrawarman.
Menurut sumber dari Batak, pasukan Pamalayu dipimpin oleh Indrawarman, bukan Kebo Anabrang. Tokoh Indrawarman ini tidak pernah kembali ke Jawa, melainkan menetap di Sumatra dan menolak kekuasaan Majapahit sebagai kelanjutan dari Singhasari. Mungkin, Indrawarman bukan komandan Pamalayu, melainkan wakilnya. Jadi, ketika Kebo Anabrang kembali ke Jawa, ia tidak membawa semua pasukan, tetapi meninggalkan sebagian di bawah pimpinan Indrawarman untuk menjaga keamanan Sumatra. Nama Indrawarman inilah yang tercatat dalam ingatan masyarakat Batak.
Dikisahkan bahwa Indrawarman bermarkas di tepi Sungai Asahan. Ia menolak mengakui kedaulatan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara. Namun, ia juga tidak mampu mempertahankan daerah Kuntu–Kampar yang direbut oleh Kesultanan Aru–Barumun pada tahun 1299. Indrawarman takut apabila kerajaan Majapahit datang untuk meminta pertanggungjawabannya. Ia pun meninggalkan daerah Asahan untuk membangun kerajaan bernama Silo di daerah Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit di bawah pimpinan Adityawarman menghancurkan kerajaan ini.
0 komentar
Posting Komentar